Sejarah
Sekolah Minggu
Dari kiri jesica,Joshua, Kinan dan katriel |
Kapan
pertama kali Pelayanan Sekolah Minggu di di selenggarakan ? itulah pertanyaan
yang banyak guru Sekolah Minggu atau
para pembina anak tidak bisa jawab. makanya Sahabat GSM mencoba menggangkat
sebuah artikel tentang sejarah sekolah minggu. dari berbagai sumber inilah
sajian kami.
Pada
ulangan 6:4-7 disana diketemukan
ternyata pada zaman itu pelayanan anak menjadi perhatian khusus oleh para
keluarga, Sejak sebelum usia 5 tahun anak telah dididik oleh orang tuanya untuk
mengenal Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan
menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan
bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge dimana
mereka dapat belajar Firman Tuhan kembali, termasuk diantara mereka adalah
anak-anak kecil. Orangtua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah
5 tahun ke sekolah di sinagoge. Di sana mereka dididik oleh guru-guru
sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan
jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya,
sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ketika
orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diijinkan pulang ke Palestina,
maka mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina
sampai masa Perjanjian Baru. Tuhan Yesus ketika masih kecil, juga sama seperti
anak-anak Yahudi yang lain, menerima pengajaran Taurat di sinagoge. Dan pada
usia 12 tahun Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait
Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada
masa rasul-rasul (1 tim 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk
mendidik mereka perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di sinagoge tetapi di
gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Tetapi
sayang sekali pada Abad Pertengahan gereja tidak lagi memelihara kebiasaan
mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan orang dewasapun tidak lagi
mendapatkan pengajaran Firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi,
gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi, dan
pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas
Katekismus. Untuk itu hanya para pekerja gereja sajalah yang diijinkan untuk
terlibat dalam pembinaan. Namun sedikitnya orang yang terlatih untuk
mengajarkan kelas Katekismus ini menyebabkan pelayanan anak ini menjadi mundur
bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan
hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis
sidi).
Anak Sekolah Minggu GKNS Lippo Karawaci |
Barulah
pada abad 18, seorang wartawan Inggris bernama Robert Raikes, digerakkan oleh
rasa cinta kepada anak-anak, membuat suatu gerakan yang akhirnya mendorong
lahirnya pelayanan Sekolah Minggu! Pada masa akhir abad 18, Inggris sedang
dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa
mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu wartawan Robert Raikes,
mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester
bagi sebuah harian (koran) milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat
memprihatinkan sebab anak-anak gelandangan itu harus bekerja dari hari Senin
sampai Sabtu.
Apa
yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya
hari libur mereka sehingga mereka habiskan untuk bersenang-senang, tapi karena
mereka tidak pernah mendapat pendidikan (karena tidak bersekolah), anak-anak
itu menjadi sangat liar, mereka minum-minum dan melakukan berbagai macam
kenakalan dan kejahatan. Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk
mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada
anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu
Meredith di kota Scooty Alley. Di sana selain anak-anak mendapat makanan,
mereka juga diajarkan sopan santun, membaca dan menulis. Tapi hal paling indah
yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar
cerita-cerita Alkitab. Pada mulanya pelayanan ini sangat tidak mudah.
Banyak
anak-anak itu datang dengan keadaan yang sangat bau dan kotor. Namun dengan
cara pendidikan yang disiplin, kadang dengan pukulan rotan, tapi dilakukan
dengan penuh cinta kasih, anak-anak itu akhirnya belajar untuk mau dididik
dengan baik, sehingga semakin lama semakin banyak anak datang ke dapur Ibu
Meredith. Semakin banyak juga guru disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya
untuk belajar membaca dan menulis tapi juga Firman Tuhan. Perjuangan yang
sangat sulit tapi melegakan. Dan dalam waktu 4 tahun sekolah minggu itu semakin
berkembang bahkan ke kota-kota lain di Inggris, dan jumlah anak-anak yang
datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh
Inggris.
Mula-mula,
gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert
Raikes ini. Tetapi karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan
membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris, dan juga atas
bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah
Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula oleh gereja Methodis, akhirnya
gereja-gereja protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia thn. 1811,
jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari
400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari
revolusi sosial, tapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal
Tuhan.
Gerakan
Sekolah Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat
di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dan dari para
misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak
melalui Sekolah Minggu juga hadir di Indonesia.
Sumber:
· Ruth Lautfer, Pedoman
Pelayan Anak, halaman 191 - 194, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia, Malang, 1993.
· Mavis L.
Anderson, Pola
Mengajar Sekolah Minggu, halaman 5 - 9, Yayasan Kalam Hidup,
Bandung, 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar